Rabu, 25 Januari 2012


Wahdatul Wujud: (Bgn:2)

oleh DISKUSI ILMU TAUHID pada 26 Januari 2012 pukul 0:27
“Wahdatul Wujud: (Bgn:2) : seri Tanya – Jawab : Anggelia Sulqani Zahra” dan Ustad’ Sinar Agama

Anggelia Sulqani Zahra” : Ustad’ Komentar anda pada “Wahdatul Wujud: (Bgn:1) : seri Tanya – Jawab :
“Allah dalam banyak ayat-ayatNya seperti QS:2:126; 2:285 dan sekitar 21 ayat lainnya menggunakan kata Mashir (menjadi) untuk kembalinya manusia kepadaNya, bukan masir (berjalan/menuju). tentu ayat-ayat ini saya bawa di sini sebagai penguat dalil akal kita ini, bukan sebagai pemaksa anda untuk terima, tetapi hanya sebagai pereda ketakutan akan kebenaran dalil akal kita ini manakala hal itu terjadi, supaya tidak seperti para wahhabi yang terus anti pati dan mengecam para arif.

Allah dalam ayat-ayat tadi, baik bagi orang yang akan ke neraka atau ke surga, memakai katakedua Mashir alias menjadi. Hal itu karena memang kembalinya manusia itu kalau bukan menjadi hakikat murkaNya, akan menjadi hakikat RidhaNya. Jadi, dua-duanya menjadiNya. Tetapi karena Tuhan mengatakan (dan akal juga mengatakan hal yang sama) bahwa "menjadi kepadaNya", bukan "menjadiNya", maka selamanya manusia tidak akan pernah mencapaiNya, sekalipun menjadi kepadaNya, bukan menujuNya.
Ustad. mohon di urai lebih luas dan lebih sederhana komentar tersebut

Sinar Agama: Ringkasan bahasan yang lalu adalah: Kan ada dua fersi pandang dalam hidup keIslaman kita ini,  Ada yang mengatakan bahwa selain Allah itu "ada", dan ada yang mengatakan "tidak ada".

Dalam pandangan golongan pertama, manusia dan perbuatannya begitu pula surga-nerakanya semua adalah "ada". Dengan demikian maka yang masuk ke surga-neraka adalah orang atau manusia yang ?"ada" yang masuk ke surga yang juga "ada". Oleh karenanya, manusia, tetap manusia dan ?surga-neraka juga tetap surga-neraka. Yakni seperti orang yang masuk ke kebun atau tungku api.
Di sini, manusia berjalan menuju surga-neraka, bukan menjadi surga-neraka, Dan golongan pertama ini menerjemahkan "mashir" dangan "masir", yakni "menjadi" dengan "menuju".

Tetapi dalam pandangan golongan kedua: Karena selain Tuhan "tidak ada", karena hanya esensi, maka manusia ?dan surga-neraka, tidak lain kecuali wajahNya saja, yakni wajah "Ada". Dan karena semuanya hanya "bayangNya" dan "wajahNya', maka perubahan dan perjalanan manusia itu terjadi dalam kewajahanNya itu, tidak pada wujud mereka karena mereka tidak punya wujud.

Dengan demikian, maka perjalanan mereka itu, bukan perjalanan di atas jalan seperti agama ?.dan bukan pula menuju tempat yang tempat seperti surga-neraka. Tetapi perjalanan dan tujuannya itu adalah sama-sama tajalli dan wajah.

Jadi, perubahan/amal, jalan dan tujuannya, tidak lain adalah wajahNya Dan karena semuanya adalah wajah Wujud, maka manusia, amal, jalan/agam dan tujuannya itu adalah kemenjadian-wujud, bukan wujud yang berbuat dalam wujud, berjalan di atas wujud dan menuju kepada wujud. Tidak demikian. Tetapi semuanya itu tidak lain kecuali kemenjadian-wujud.

Kemenjadian-wujud, yakni selalu dalam kepengembalian-wujud itu kepada yang berhak dan kepengembalian-wujud, bukan berarti kita memilikinya dan kita kembalikan, bukan tetapi, menyerahkan wujud itu dari "kemerasaan-punya-wujud" kepada yang punya sebenarnya dan karena kita tidak pernah wujud, dan karena yang ada hanyalah merasa punya wujud, maka karena itulah Tuhan mengatakan "KepadaNya menjadi", bukan "menjadiNya". Yakni selalu dalam ketiadaan dan ketidak-punyaan-wujud. Artinya, karena Wujud=Allah, maka manusia selalu dalam "kemenjadian padaNya", bukan "menjadiNya". Yakni selalu dalam "kepenyerahan wujud"

Dengan demikian, maka manusia di surga-neraka yang juga sama-sama tiada dan sama-sama wajahNya, maka ?tidak lain manusia itu berubah dari wajah yang satu menjadi yang lainnya, yakni dari ?kewajahannya sebagai manusia menjadi wajah lain yang disebut dengan surga-neraka itu ?dimana surga sebagai wajah dari RidhaNya dan neraka dari MurkaNya.

Anggelia Sulqani Zahra” : Ustad’syukron … muncul satu pertanyaan, yaitu bagaimana manusia bisa berubah menjadi surga-neraka?

Sinar Agama: salam.semalam mau nerusin jawab tayamu dan pertanyaan lainnya dari orang lain tetapi signal putus.
Kalau kamu pandai menyimpulkan pelajaran lalu, maka akan tersimpulkan bahwa "Ada" memiliki ?wajah substansi dan substansi berwajah aksiden.

Kalau dalam filsafat, aksiden menumpangi substansi ?wajah substansi dan substansi berwajah aksiden. Kalau dalam filsafat, aksiden menumpangi substansi dan substansi menumpangi wujud.

Semua keberadaan dan aktifitas aksident bertopang pada substansi dan substansi pada wujud. sekarang saya tidak akan bahas wujud-wujud materi dan proses atau gerakannya, karena tidak menyangkut bahasan kita sekarang. saya akan bahas substansi dan aksident pada wujud non materi.

Konsep ada dan gerak yang ada pada non materi sama saja dengan materi selama ia masih berhubungan dengan materi, sekalipun ada perbedaannya, tetapi secara global adalah sama. dengan demikian peristiwa/gerak/proses yang ada terjadi pada aksiden, bergantung dan bersumber dari substansi.

Begitu pula substansi dari wujud. dan, sudah tentu pada akhirnya aksiden juga bergantung pada wujud. di sini saya tidak akan terangkan lagi bagaimana cara memandang wujud.

Bahwasannya wujud bisa dilihat dengan kacamata filsafat atau irfan. Karena semua uraiannya sama saja, dan yang beda hanya cara pandangnya.

Oh ya kalau suatu saat mandek, maka berarti ganguan signal,  jadi sabar.

Kembali pada gerak non materi. sebenarnya non materi tidak punya gerak, karena semua perubahannya secara langsung atau tidak melalui proses waktu.karena waktu, biar secepat cahaya, adalah hanya milik materi karena dia terikat dengan ruang/volume.
Tetapi karena non materi yang kita bahas sekarang, yakni ruh manusia, yang , masih terikat dengan materi di dunia ini, maka ?ruh manusia ini pasti memiliki gerak/proses, yaitu perubahan dalam waktu.

Karena substansi dan hakikat non materi adalah tidak memiliki materi, yakni tidak memiliki volume dan kekonsekwenannya, seperti rangkapan materialisnya yang membuat masing-masing kedua rangkapannya itu berposisi dan bermateri tersendiri (bc:masing-masingkedua unsur atau rangkatapan substansinya atau substansi dan aksidennya) ?

Maka rangkapan non materi jauh lebih sederhana dan tidak terpisah-pisah, yakni dalam kesatuannya itu. Memang, semua yang berangkap, walau materi, tidak terpisah, tetapi masing-masing kedua rangkapannya itu berposisi tersendiri yang ?kalau dilihat dari sisi masing-masing kedua rangkapannya itu, maka masing-masing kedua rangkapan tersebut saling terpisah.

Seperti dau dari pohonnya, akar dari buahnya ..dan seterusnya pada pohon. Tetapi kalau rangkapan non materi tidak seperti itu. karena kenon materiannya itu, maka katakanlah rangkapan kedua yang dimilikinya hanya bisa dipisahkan di dalam akal kita saja, tidak pada wujudnya sendiri.
Nah, karena kesederhanaan rangkapan non materi itulah, maka bisa terjadi loncatan dari satu hakikat ke hakikat yang lain. Misalnya dari subsatansi ke substansi yang lain atau dari aksident kepada substansi. Misalanya, hakikat manusia adalah "Binatang Rasional" atau "Benda berkembang bergerak dengan ikhtiar dan rasional".

Dalam filsafat, telah dibuktikan bahwa hakikat sesuatu itu sebenarnya adalah, "defrentia akhirnya" atau "Pembeda Akhirnya". dalam contoh definisi manusia yang rinci di atas, Benda=genus-jauh; berkembang=genus-tengah dan juga pembeda-jauh bagi manusia.
Bergerak dengan ikhtiar=genus-tengah dan pembeda jauh bagi manusia. Tetapi binatang yang terdifinisikan dengan "benda berkembang dan bergerak dengan ikhtiar" adalah genus dekat bagi manusia.

Dan, rasional=pembeda dekat, bagi manusia. Kamu tidak usah pusing dengan semua itu. Kamu konsen saja dengan yang ingin kukatakan sekarang ini, bahwa:

Hakikat sesuatu itu adalah "Pembeda Dekatnya" itu. Dalam hal manusia ini adalah "Rasionalnya" itu.

Sebelem saya teruskan, harus diketahui bahwa apapun hakikat materi itu, mesti memiki unsur non materinya yang disebut ruh.jangankan manusia dan binatang, pohon atau bahkan batu, tanah, air, api dan udarapun memiliki unsur non materi yang disebut "Ruh".

Salah satu alasannya, karena di dalam materi terdapat gerak kedua yang terkontrol, seperti putaran kedua atomnya yang selalu sama dan terkondisi Padahal kalau kebetulan, pasti tidak akan sama walau dalam dua gerakannya, seperti kalau kita melempar 3 kelereng yang berlainan warna yang, tidak mungkin posisi ketiganya itu sama dalam kedua lemparan walau dilempar sejuta lemparan.

Dengan, demikian karena putaran kedua atom itu selalu sama, begitu pula juga proses kedua yang terjadi pada katakanlah biji padi yang selalu menumbuhkan pohon padi, bukan jagung, ?maka sudah pasti dalam proses kedua materi itu terdapat pengaturan dan kesengajaan. dan pengaturan dan kesengajaan ini (lawan kebetulan), tidak akan terjadi kecuali kalau memiliki ilmu (tahu) pada yang disengajanya itu.

Dengan demikian dalam semua proses kedua materi, dari yang sangat sederhana, seperti putaran kedua atomnya, sampai pada yang tidak sederhana seperti berilmu tinggi atau berakhlak tingginya manusia, semua itu bermuara pada penyengaja yang ada di dalam materikedua tersebut. dan penyengaja ini, karena memiliki ilmu, dan karena ilmu itu adalah kehadiran yang diketahui pada yang mengetahui, maka dia pasti wujud non materi.

Kenapa pasti wujud non materi?

Karena hakikat materi adalah hakikat keterpisahan walau dalam kesatuannya, sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas. Jangankan pohon dari daunnya, netron dan proton pada atom saja tidak bertemu, walau terangkai dalam kesatuan yang disebut atom

Lebih dari itu, Proton bagian atasnya tidak bertemu dengan bagaian bawahnya. Dan bahkan, kalau atom itu masih bisa dibagi lagi menjadi sejuta bagian, maka masing-masing kedua bagiannya tidak akan saling bertemu, walau saling terkait dalam satu keberadaan.

Dengan uraian ini, dapat disimpulkan bahwa pengontrol pada wujud-wujud materi itu tidak lain adalah wujud non materi.

Karena non materi tidak saling terpisah, dan keterpisahan bagian keduanya hanya dalam pahaman kita, tidak pada hakikat wujudnya. dengan demikian, terbuktilah bahwa sumber dari segala keberadaan dan proses keduanya yang terjadi pada materi adalah non materi atau ruh. oleh karenaya Ruh dalam filsafat didefinisikan dengan "Hakikat non materi yang dalam kerja keduanya masih memerlukan atau terkait dengan materi".

Beda dengan "Malaikat" yang didefiniskan dengan "Hakikat non materi yang tidak memerlukan materi".

Kembali ke masalah kita, yakni perubahan atau loncatan non materi kepada hakikat lain.

Karena kenon-materian ruh, atau karena ketidak terikatannya dengan volume/tempat, dan karena ketidak terpisahan bagiankeduanya itu, maka wujud non materi ini bisa berubah menjadi wujud atau hakikat yang lain.

Tentu saja perubahakedua itu terjadi pada dirinya sendiri, dan, sudah tentu tidak bisa keluar seratus persen dari hakikat sebelumnya. Jadi, non materi, memiliki dua kekhususan itu dikarenakan kenon materiannya itu, yakni yang hakikat sebelumnya tidak bisa hilang, dan yang didapatkan setelahnya, kalau sudah berupa substansi, juga tidak bisa hilang yang, kemudian kita katakan berubah ke wujud lain.

Ingat, dengan terbuktinya keberadaan ruh pada setiap materi dan terbuktinya ruh sebagai pengerak semua aktifitas materi, kejadian kedua materi yang kita lihat, sebenarnya, adalah kejadian yang terjadi pada non materinya.

Misalanya, ruh manusialah yang merasakan dengan panca indarinya itu, yang nulis atau ceramah itu, Jadi, dalam hal ini, apapun yang terjadi pada materi manusia, sebenarnya adalah kerja ruhnya. Oleh karenaya kerja kedua materinya ini adalah wajah bagi ruh.

Kemblai ke masalah kita lagi, yakni ketidak hilangan hakikat sebelumnya dan ketidak hilangan yang didapat setelahnya kalau sudah berupa substansi.

Ruh manusia, ketika ia menyukai sesuatu dan mengejarnya (tentu akrifitasnya pasti memerlukan badannya), seperti makan-minum, maka telah memiliki kerja baru. Katakanlah suka durian. Pekerjaan baru tersebut, yakni mengejar dan makan durian, setelah dilakukannya beberapa kali, maka akan memunculkan dalam diri ruh tersebut, rasa "suka". Yakni sifat baru yang tadinya tidak ada dalam dirinya.

Di sini sudah ada perubahan dari tidak adanya rasa suka pada durian, menjadi adanya rasa atau sifat suka pada durian.

Sifat baru tersebut, kalau dimanjakannya terus, yakni diteruskan dengan mengejar durian terus, maka sifat suka di dalam dirinya akan berubah dari lemah menjadi lebih kuat.

Dan kalau diteruskan, maka akan berubah menjadi sifat yang sangat kuat pada dirinya. Di sini, kamu sudah bisa lihat bagaimana aksiden ini muncul dan begitu pula perubahannya kepada yang lebih kuat.

Yakni bagaiamana aksident ini ada, dan berubah dari lemah menjadi lebih kuat dan menjadi sangat kuat.

Kalau pengejaran terhadap durian itu diteruskan, yakni pemanjaan dirinya terhadap kesukaannya itu, maka aksiden ini akan semakin menguat dimana pada akhirnya akan menjadi kecanduan dan tidak bisa terlepaskan lagi.

Nah, ketika tidak bisa terlepaskan lagi itulah maka ia sudah menjadi substansi.

Kalau kamu masih ingat dengan beda substansi dan aksident, maka salah satunya adalah, substansi penentu hakikat sesutu, seperti binatang rasional bagi manusia, tetapi aksident yang bisa datang dan pergi, seperti tertawa, sedih dan seterusnya pada manusia.

Jadi, yang dikatakan substansi itu adalah hakikat sesutu itu yang, kalau hakikat manusia itu ditentukan dengan kebinatang rasionalannya, maka binatang rasional itulah substansinya. dan, kalau sesuatu itu tidak ada maka dia akan keluar dari hakikatnya itu. yakni kalau manusia itu tidak binatang dan rasional, maka dia bukan lagi manusia.

Kembali ke masalah kita. Ketika sifat kedua baru itu telah mencandu dalam ruh, dan tidak bisa lagi dilepaskan, maka berarti ia telah naik derajat dari sifat/aksiden kepada substansi. karena hakikat substansi adalah yang tidak bisa dilepaskan, sebagaimana makalaum.

Nah, kalau manusia mengerjakan pekerjaan kedua takwa, maka juga begitu. Kalau dia suka dan mengejarnya, karena tak suka takkan mengejar (Makanya cinta ahlulbait itu adalah diwajibkan Tuhan demi manusia itu sendiri, bukan mereka) ?,maka akan ada perubahan pada dirinya atau ruhnya itu. Dan akan terjadi aksiden baru dalam dirinya tersebut. dan kalau takwa itu terus dikerjakannya, maka suatu saat akan menjadi hakikat dirinya yang baru, atau substansinya yang baru.

Sudah tentu manakala takwa itu sudah tidakbisa dilepaskan lagi dari dirinya.

Dengan demikian, yakni kalau takwa itu sudah menjadi substansinya, maka dia/manusia ini akan memiliki hakikat yang baru. yaitu yang terdefinisikan dengan "Binatang rasional dan takwa", atau "Rasional dan takwa". dan karena takwa itu adalah pekerjaankedua yang diridhai Allah, maka sebenarnya takwa itu adalh "Tajalli" dari "RidhaNya" itu.

Karenanya, maka manusia ini sekarang telah menjadi hakikat baru yang kita katakan dengan "Hakikat RidhaNya". Dengan demikian maka ia telah menjadi "Tajalli RidhaNya".

Begitu pula sebaliknya. Yakni arah kemungkaran dan kebejatan moral. Atau setidaknya ketidak tahuan posisinya (jahil). Maka proses kedua itu kalau terjadi, ia akan menjadi "Tajalli MurkaNya".

Jadi, manusia dalam pandangan filsafat, tidak masuk surga atau neraka. tetapi menjadi hakikat RidhaNya atau MurkaNya.

Jadi, surga itu bukan tempat yang akan dimasuki, tetapi makom yang dicapai manusia hingga manusia bisa mencipta semua keadaan suka/ridhanya di sana karena sudah membiasakan diri menyuka dan mengerjakan ridhaNya di dunia.

Jadi, hal kedua baik yang menyenangkan dan meridhakan, diciptakannya sendiri dengan ijin Allah. Kenapa? Karena dalam dirinya kesukaan terhadap kebaikan/kerelaan dan pekerjaan keduanya itu telah mensubstansi di dunia hingga tidak lagi bisa terpisah.

Begitu pula sebaliknya bg yang telah membiasakan diri dan mensubstansikan kepada kemungkaran atau kemurkaan. Jadi, yang pemarah dan pemakan haram, akan selalu marah dan mencipta hakikat haram dan dimakannya.

Dimana hakikat makan haram itu adalah api. Misalanya dalam QS: 4:pertama0 Allah berfirman bahwa yang makan harta anak yatim (katakanlah yang haram) adalah makan api. Tetapi ingat bahwa yang akan mencipta hal kedua ridha dan murka itu adalah manusia itu sendiri dan dari dalam dirinya dengan ijinNya, yakni dengan sistemNya.

Artinya dari dalam substansinya yang sudah rangkap dengan kebiasaan atau substansi baru. Yakni manusia yang bersubstansi rasional itu yang, sekarang menjadi rasional ridha atau murka. Artinya, ketika dia mencipta hal kedua ridha, maka dia akan senang dan bahagia, karena dia tetap rasional itu.

Begitu pula kalau dia mencipta halkedua murka, maka dia akan sedih dan tersiksa, karena dia tetap rasional itu. Jadi, dia mencipta api dan memakannya dan tersiksa sekalipun dia sendiri penciptanya dengan ijinNya. Hal itu karena kerasiolannya tetap pada dirinya dimana keapian api tidak selaras dengan kerasionalannya itu.

Untuk menguatkan dalil kedua filsfat di atas, saya akan bawakan contoh ayat keduanya.

Pertama, hal kedua yang berkenaan dengan perubahan substansi manusia kepada substansi baru. Ingat perubahan ini tetap mempertahankan substansi sebelumnya, yakni rasional.

Dan ingat, bahwa kita bisa menyebut sesuatu itu hanya pembeda/defrentia akhirnya saja, seperti kalau kita berkata "manusia adalah raional". Karena hakikat sesuatu itu adalah pembeda dekat dan akhirnya.

Allah dalam QS:
pertama:46 berfirman kepada nabi Nuh as ketika beliau memohon supaya Allah menolong anaknya yang hanyut, Allah berfirman: "sesungguhnya dia adalah perbuatan yang tidak shaleh/benar"
Mengapa Allah mengatakan bahwa anak nabi Nuh as adalah "Perbuatan yang tidak shaleh/benar"?, dan tidak dikatakan bahwa "dia adalah yang berbuat ketidak shalehan" atau "dia pelaku kemungkaran"?

Karena kalau dia adalah pelaku ketidak shalehan atau kemungkaran itu, berarti pebuatannya itu masih blm menjadi kebiasannya. Artinya bisa berbuat dan bisa tidak berbuat.
Yakni bisa kafir dan bisa mukamuin, bisa bejat dan bisa taat. Tetapi manakala sudah dikatakan "dia adalah kekafiran" itu sendiri, maka kekafiran tersebut sudah menjadi substansi barunya yang ditambahkan kepada substansi lamanya.

Jadi, berbeda antara dia pelaku kekafiran atau dia adalah kekafiran itu sendiri. Atau dia pelaku ketidak shalehan dan dia adalah ketidak shalehan itu sendiri.

Allah dalam QS: 76:6 berfirman bahwa di akhirat nanti ada telaga yang diminum oleh hamba keduaNya tetapi yang dibuat sendiri oleh mereka.
Allah berfirman "Telaga yang diminum oleh hamba kedua Allah yang, diledakkannya oleh mereka sendiri dengan ledakan yang hebat". Artinya dicipta tanpa dengan proses galian. Hal itu karena kenonmateriannya tersebut.

Ayat ke dua di atas adalah contoh bagi pembentukan atau penciptaan keridhaan itu oleh manusia itu sendiri di surga. Yakni bukan tempat yang dituju.

https://www.facebook.com/DISKUSI.ILMU.TAUHID

Minggu, 08 Januari 2012

Pengertian makrifat


Pengertian makrifat

    
  
Dari Anta:  
Solo the spirit of Islam  
Pengertian makrifat  
Perkara yang wajib dima’rifati (dikenal secara utuh) dari tentang Alloh:  
1 . Eksistensi Dzat-Nya.
2. Eksistensi Sifat-Sifat-Nya.
3. Eksistensi Asma-Nya.
4. Eksistensi Af’al-Nya.
5. Eksistensi Rububiyah-Nya.
6. Eksistensi Mulkiyah-Nya, dan
7. Eksistensi Uluhiyah-Nya.
  
1.         Eksistensi Dzat Alloh.  
Dzat Alloh itu hanya ada satu, tidak dua, tidak tiga, dst. Langit dan bumi beserta seluruh isinya; manusia, hewan, binatang, tumbuhan, matahari, bulan, bintang, planet, orang Islam, kristen, hindu, budha,koh hu cu dan lain-lain; tuhannya hanya satu, yakni Alloh Qs 112:1-4  
Mungkinkah… planet bumi yang hanya ada satu ini tuhannya lebih dari satu….?  
Tidak ada sesuatupun yang memiliki titik sama seruapa, atau semisal dengan bentuk dan dimensi Dzat Alloh sehingga keberadaan; bentuk, dan dimensi Dzat Alloh tidak akan pernah terbayang oleh akal dan tidak akan pernah tersirat dalam hati.. Akan tetapi keberadaan Dzat Alloh akan bisa ditemukan hanya oleh Hamba-Nya yang memiliki Qolbun Salim (Hati atau Jiwa Yang Bersih), yakni bersih dari kemusyrikan.  
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan (Bentuk Dzat) Dia. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat Qs 42:11.
Dan tidak ada sesuatupun yang semisal dengan (dimensi Dzat) Dia Qs 112:4.  
2.    Eksistensi Sifat Alloh  
Keberadaan Sifat Alloh adalah melekat pada Dzat-Nya. Sifat Alloh yang wajib diyakini oleh kita ada 13, yakni;
(1) WUJUD, artinya; Ada. Keberadaan Dzat Alloh tidak ada awalnya dan tidak ada yang menciptakan-Nyapertama kali. Jika keberadaan Dzat Alloh ada permulaan-Nya, maka berarti harus ada Dzat yang menciptakan pertama kali (DAOR); jika hal tersebut terjadi, maka berarti keberadaan Dzat Alloh itu LEMAH, jika Alloh Lemah maka MUSTAHIL.
(2) QIDAM, artinya; Terdahulu, dimana terdahulunya Dzat Alloh tidak ada Dzat yang menciptakan-Nya dan tidak ada awal-Nya. Jika keberadaan Dzat Alloh itu ada awal-Nya. maka keberadaan Dzat Alloh sangat membutuhkan terhadap Dzat yang telah mengadakan pertama kalinya, jika hal tersebut terjadi, maka berarti keberadaan Dzat Alloh itu bersifat LEMAH, Jika Alloh Lemah… maka itu mah bukan TUHAN.
(3) BAQO, artinya; Kekal, kekal-Nya Dzat Alloh tidak ada awal-Nya dan tidak akan pernah ada akhir-Nya.
(4) MUKHOLAFATULIL HAWADITS, artinya; Berbeda dengan sesuatu. Keberadaan Dzat Alloh tidak ada titik sama dengan sesuatu apa pun. Tidak ada sestupun yang serupa, semisal atau setara dengan keberadaan Dzat Alloh.
(5) QIYAMUHU BINAFSIH, artinya; Berdiri sendiri, Keberadaan atau eksistensi Dzat Alloh tidak memerlukan pihak lain untuk mengadakan diri-Nya, dan tidak memerlukan tempat untuk bertempat tinggal/bernaung/berlindung.
(6) WAHDANIYAT, artinya; Satu, Dzat Tuhan itu hanya ada satu, yakni Alloh saja. Diluar Alloh bukan Tuhan tapi makhluk hasil ciptaan Tuhan.
(7) QUDROT, artinya; Kuasa, keberadaan Dzat Alloh ialah berkuasa penuh untuk mengadakan dan mentiadakan segala sesuatu. Kekuasaan Alloh itu tidak ada awal-Nya, tidak kadang-kadang kuasa dan tidak akan pernah ada akhir-Nya.
(8) IRODAH, artinya Berkehendak, Keberadaan Dzat Alloh memiliki kehendak, keinginan, rencana (Program), Setiap kehendak, keinginan, rencana atau program Alloh pasti terjadi, tidak akan pernah gagal.
(9) ILMU, artinya Mengetahui, Pengetahuan Dzat Alloh bukan hasil belajar/riset, tidak ada awal-nya dan tidak akan pernah ada akhirnya.
(10) HAYAT, artinya; Hidup, Hidup-Nya Dzat Alloh tidak ada awal-Nya, tidak ada yang menghidupkan dan tidak akan pernah ada akhir-Nya.
(11) BASHOR, artinya; Melihat-Nya Dzat Alloh tidak terbatas oleh tempat, ruang dan waktu. Karena melihat.-Nya Dzat Alloh bukan dengan indra mata, tapi dengan sifat SAMA-NYA DIA.
(12) SAMA, artinya; Mendengar-Nya Dzat Alloh tidak terbatas oleh tempat, ruang dan waktu. Karena melndengar.-Nya Dzat Alloh bukan dengan indra telinga, tapi dengan sifat BASHOR-NYA DIA.
(13) KALAM, artinya Berbicara. Berbicara-Nya Dzat Alloh bukan dengan suara, isyarat atau kode, tapi dengan sifat KALAM-NYA DIA.  
Kesimpulan:
TIDAK ADA SESUATU PUN YANG MEMILIKI TITIK SAMA DENGAN SIFAT-SIFAT YANG DIMILIKI OLEH DZAT ALLOH DENGAN SELURUH KESEMPURNAAN-NYA.
  
3.       Makrifat Terhadap Eksistensi Asma Alloh (Mengenal Nama-Nama Alloh).  

1. Lafadz Alloh adalah merupakan nama Tuhan Sang Pencipta, Pemilik, Penggenggam, Pemelihara, Pengurus, Pengatur, Pengendali dan Penguasa Alam semesta; langit dan bumi beserta seluruh isinya. Tidak ada Tuhan kecuali Alloh dan diluar Alloh namanya bukan Tuhan, tapi makhluk hasil ciptaan Tuhan. Dan seluruh Kitab Suci yang telah diwahyukan kepada Para Rosul-Nya, menerangkan bahwa nama Tuhan itu ialah Alloh Qs 13:16. Alloh ialah satu-satunya Raja yang hak di abdi, dipuja, diagungkan, disanjung, dijadikan kekasih dan yang hak dijadikan idola oleh setiap makhluk yang ada di langit dan di bumi ini. Adapun untuk nama-nama lain dari Alloh yang ada dalam Asma’ul Husna, maka menunjukkan pula keberadaan sifat yang melekat pada Dzat Alloh dan merupakan kata berita yang menerangkan tentang keberadaan Sifat-Sifat Alloh.

1. Alloh .
2. Ar-Rohman (Maha Pengasih) Qs 2:163 / 13:30 / 20:5,109 / 50:33 / 78:38 3. Ar-Rohim (Maha Penyayang) Qs 1:3 / 4:64 / 27:30 / 34:2.
4. Al-Malik (Maha Merajai) Qs 3:26 / 59:23.
5. Al-Quddus (Maha Berih dari Noda dan Cacat) Qs 59:23 / 62:1.
6. As-Salam (Maha Penyelamat) Qs 59:23.
7. Al-Mu’min (Maha Pemelihara Keamanan) Qs 59:23.
8. Al-Muhaimin (Maha Penjaga) Qs 5:48 / 59:23.
9. Al-Aziz (Maha Perkasa) Qs 3:4 / 11:66 / 27:9 / 38:66 / 54:42 / 59:23.
10. Al-Jabbar (Maha Agung) Qs 59:23 .
11. Al-Mutakabbir (Maha Megah / Maha Angkuh) Qs 59:23.
12. Al-Kholiq (Maha Pencipta) Qs 6:102 / 15:28 / 40:62.
13. Al-Bari (Maha Pembuat) Qs 2:54 / 59:23.
14. Al-Mushowwir (Maha Pembentuk) Qs 3:6 / 40:64 / 59:24
15. Al-Ghoffar (Maha Pengampun) Qs 38:66 / 39:5 / 71:10.
16. Al-Qohhar (Maha Pemaksa) Qs 13:16 / 38:65 / 39:4.
17. Al-Wahhab (Maha Pemberi) Qs 3:8 / 38:9.
18. Al-Rozzak (Maha Pemberi Rizki) Qs 51:58.
19. Al-Fattah (Maha Membukakan) Qs 34:26.
20. Al-‘Alim (Maha Mengetahui) Qs 2:181,247 / 3:35 / 6:13.
21. Al-Qobidl (Maha Menggenggam dan Menahan) Qs 2:245.
22. Al-Basit (Maha Meluaskan / Melepaskan) Qs 17:30.
23. Al-Khofid (Maha Menjatuhkan / Merendahkan) Qs 56:23.
24. Ar-Rofi (Maha Mengangkat) Qs 2:253 / 3:55 / 58:11.
25. Al-Mu’iz (Maha Memberi Kemuliaan) Qs 3:26.
26. Al-Mudzil (Maha Memberi Kehinaan) Qs 3:26.
27. As-Sami’ (Maha Mendengar) Qs 2:181 / 6:13 / 17:1 / 40:20,56.
28. Al-Bashir (Maha Melihat) Qs 4:58 / 17:71 / 40:20,56 / 67:59.
29. Al-Hakam (Maha Penetap Hukum) Qs 5:58 / 6:114 / 10:109 / 12:40 / 13:41.
30. Al-‘Adlu (Maha Adil).
31. Al-Latif (Maha Halus / Lembut) Qs 6:103 / 12:100 / 67:14.
32. Al-Khobir (Maha Waspada) Qs 6:18,103 / 34:1 / 59:18 / 100:1.
33. Al-Halim (Maha Penghiba / Penyantun) Qs 9:114 / 17:44 / 64:17.
34. Al-‘Azhim (Maha Agung) Qs 3:74 / 56:96 / 69:52.
35. Al-Ghofur (Maha Kaya) Qs 2:235 / 34:2 / 48:14 / 64:14.
36. Asy-Syakur (Maha Pembalas) Qs 35:30 / 64:17.
37. Al-‘Aliy (Maha Tinggi) Qs 2:255 / 4:34 / 22:62 / 40:12.
38. Al-Kabir (Maha Besar) Qs 13:9 / 22:62 / 40:12.
39. Al-Hafizh (Maha Pemelihara) Qs 11:57 / 12:64 / 42:6 / 50:52.
40. Al-Mukit (Maha Memberi Kecukupan).
41. Al-Hasib (Maha Penghitung) Qs 4:6 / 6:62.
42. Al-Jalil (Maha Luhur) Qs 55:27.
43. Al-Karim (Maha Pemurah) Qs 27:40.
44. Ar-Roqib (Maha Peneliti / Mengawasi) Qs 4:1 / 33:52.
45. Al-Mujid (Maha Mengabulkan) Qs 2:186 / 11:61 / 37:35.
46. Al-Wasi (Maha Luas) Qs 2:247 / 3:73 / 24:32.
47. Al-Hakim (Maha Bijaksana) Qs 6:83 / 11:1 / 95:8 / 27:9 / 34:1 / 39:1.
48. Al-Wadud (Maha Mengasihi) Qs 11:90 / 85:14.
49. Al-Majid (Maha Mulia) Qs 11:73 / 85:15.
50. Al-Ba’its (Maha Membangkitkan) Qs 2:56 / 16:84 / 16:89.
51. Asy-Syahid (Maha Menyaksikan) Qs 33:55 / 34:47.
52. Al-Haq (Maha Benar) Qs 22:62 / 31:30.
53. Al-Wakil (Maha Memelihara Penyerahan) Qs 4:81 / 17:65.
54. Al-Qowiy (Maha Kuat) Qs 8:52 / 11:66 / 57:25.
55. Al-Mathin (Maha Kokoh) Qs 7:183 / 51:58 / 68:45.
56. Al-Waliy (Maha Melindungi) Qs 4:45 / 42:28 / 33:17.
57. Al-Hamid (Maha Terpuji) Qs 11:73 / 14:1 / 42:28.
58. Al-Muhshi (Maha Menghitung / Menghisab) Qs 19:94 / 72:28.
59. Al-Mubdi (Maha Memulai) Qs 33:37 / 85:13.
60. Al-Mu’id (Maha Mengulangi) Qs 85:13.
61. Al-Muhyi (Maha Menghidupkan) Qs 30:50 / 44:8.
62. Al-Mumit (Maha Mematikan) Qs 44:8.
63. Al-Hayyu (Maha Hidup) Qs 2:255 / 3:2 / 40:65.
64. Al-Qoyyum (Maha Berdiri Sendiri) Qs 2:255 / 3:2 / 20:111.
65. Al-Wajid (Maha Kaya) Qs 93:6-8.
66. Al-Majid (Maha Mulia) Qs 85:15.
67. Al-Wahid (Maha Esa) Qs 13:16 / 21:108 / 38:65.
68. Ash-Shomad (Maha Dibutuhkan) Qs 112:2.
69. Al-Qodir (Maha Kuasa / Maha Berdaulat) Qs 30:50,54 / 6:65 / 10:65.
70. Al-Muqtadir (Maha Menentukan) Qs 18:45.
71. Al-Muqoddim (Maha Mendahulukan) 15:24.
72. Al-Mu’akhir (Maha Mengakhirkan) Qs 15:24 / 11:104.
73. Al-Awwal (Maha Pertama) Qs 57:3.
74. Al-Akhir (Maha Akhir) Qs 57:3.
75. Adz-Dzohir (Maha Nyata) Qs 57:3.
76. Al-Bathin (Maha Tersembunyi) Qs 57:3.
77. Al-Wali (Maha Menguasai / Memimpin) Qs 13:11 / 12:101.
78. Al-Muta’ali (Maha Suci) 13:9.
79. Al-Barri (Maha Dermawan) Qs 52:28.
80. At-Tawwab (Maha Penerima Taubat) Qs 2:54 9:104 / 110:16.
81. Al-Muntaqim (Maha Menyengsarakan) 39:37 / 43:41 / 44:16.
82. Al-‘Afuw (Maha Pemaaf) Qs 4:43,99 / 22:60.
83. Ar-Rouf (Maha Mensejahterakan) Qs 2:207 / 9:117 / 59:10.
84. Al-Malikul Mulk (Maha Menguasai Kerajaan / Pemerintahan) Qs 3:26.
85. Dzul Zalali Wal Ikrom (Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan) Qs 55:27.
86. Al-Muqsith (Maha Mengadili) Qs 3:18.
87. Al-Jami’ (Maha Mengumpulkan) Qs 3:9 / 4:172 / 42:29.
88. Al-Ghoniy (Maha Kaya) Qs 4:131 / 6:133 / 22:64.
89. Al-Mughni (Maha Memberi Kekayaan).
90. Al-Mani’ (Maha Pembela).
91. Ad-Adoru (Maha Mencelakakan) Qs 48:11.
92. An-Nafi’ (Maha Memberi Kesenangan) Qs 48:11.
93. An-Nur (Maha Bercahaya) Qs 39:22.
94. Al-Hadi (Maha Pembimbing) Qs 39:23.
95. Al-Badi (Maha Pembaharu) Qs 2:117.
96. Al-Baqi (Maha Kekal) Qs 55:27.
97. Al-Warits (Maha Pewaris) Qs 15:23 / 21:89.
98. Ar-Rosyid (Maha Cerdik / Maha Pandai) Qs 18:10 / 18:17.
99. As-Shobur (Maha Penyabar) Qs 7:153.
  
Kesimpulan: TIDAK ada sesuatupun yang memiliki titik sama dengan keberadaan Nama-Nama Alloh dengan seluruh keempurnaan-Nya.  
4.       Ma’rifat Eksistensi Af’al Alloh (Mengenal Pekerjaan Alloh).  
Segala sesuatu yang ada dan terjadi di langit maupun di planet bumi ini adalah merupakan buah karya /hasilkerja Alloh SWT.  
Wujud Af’al Alloh ada 2, yaitu;
(1) Af’al Alloh Taqwin / Af’al Alloh Mudthor.  
Yaitu pekerjaan Alloh yang tidak melibatkan upaya makhluk, seperti Alloh menciptakan, memelihara dan mengendalikan langit, bintang, matahari, bulan dan bumi. Atau Alloh menciptakan, memelihara dan mengendalikan ruh, jantung, darah, pernafasan dan alat pencernaan yang ada pada binatang dan manusia.  
(2) Af’al Alloh tasyri / Af’al Alloh Mukhtar.  
Yaitu pekerjaan Alloh yang secara kasad mata kita ada ikutserta dan upaya makhluk, seperti Alloh menciptakan bangunan, rumah, kendaraan, jalan, pakaian, alat tulis dan lain-lain.  
Perkara yang mendukung terwujudnya Af’al Alloh Tasyri atau Af’al Alloh Mukhtar:  
(a)   Adanya Dzat Alloh Yang Berkuasa untuk menciptakan, menggenggam, memelihara dan mengendalikan alam semesta beserta seluruh isinya.
(b) Adanya sumber daya manusia yang telah diciptakan, dipelihara dan dikendalikan tiap organ tubuhnya supaya berfungsi sesuai dengan kehendak dan tujuan Alloh.
(c) Adanya sumber bahan (sumber daya alam) yang telah disediakan oleh Alloh.  
(d) Adanya ide dan ilmu pengetahuan hasil ciptaan Alloh yang kemudian disimpan pada memory akal manusia yang selanjutnya dipelihara dan difungsikan sesuai dengan kehendak-Nya.
(e) Adanya unsur-unsur lain yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia seperti; oksigen, air, makanan, cahaya, gaya grafitasi, suhu, matahari, tumbuhan, daging hewan, ikan (flora dan fauna), dan lain sebagainya yang keseluruhannya itu disediakan dan dikendalikan penuh oleh Alloh SWT.  
Fungsi dan kedudukan Alloh adalah sebagai fa’il (subjek), yakni; yang mengadakan, yang mengerjakan, yang mengendalikan dan yang akan mentiadakan seluruh makhluk. Itulah wujud af’al Alloh. Sedangkan fungsi dan kedudukan makhluk adalah hanyalah sebagai maf’ul (objek), yakni yang diadakan, yang diciptakan, yang dihidupkan, yang dimampukan, yang dikuasakan, yang dipelihara, yang digerakkan dan yang dikendalikan sepenuhnya oleh Alloh Sang Pemilik dan Penguasa langit dan bumi beserta seluruh isinya Qs 10:3,55 / 19:65 / 20:6.  
Kesimpulan: Tidak ada sesuatupun yang mampu untuk menghasilkan atsar kerja atau hasil kerja (af’al) kecuali hanya Alloh saja. Dan tidak ada sesuatupun yang setara, sebanding, serupa atau semisal dengan hasil pekerjaan Alloh (af’al Alloh).  
5.       Makrifat Kepada Rububiyah Alloh.  
Pengertian Rububiyah;  
Kata Rububiyah berasal dari kata; Robb yang secara bahasa merupakan kata kerja dari; Robb-Yarobbu-Robban, yang berarti; Pencipta, Pengatur, Pemelihara, Pemilik.  
(a) Pencipta segala sesuatu;
 Pencipta risalah (ajaran, tuntunan, pedoman dan konsep hidup).
 Pencipta syari’at; aturan / undang-undang danPencipta hukum.
 Pencipta alam semesta beserta seluruhw isinya.
  
(b) Pengatur (Pembuat aturan dan hukum).
(c) Pemelihara.
(d) Pemilik segala sesuatu.
  
Sedangkan kata bendanya adalah Robbun dengan bentuk jamaknya Arbaabun yang berarti; Pemilik, Majikan, Tuan atau Tuhan.  
Jadi yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyah adalah meyakini, mengakui dan menetapkan dalam hati bahwa langit dan bumi beserta seluruh isinya adalah merupakan hasil ciptaan dan milik Alloh SWT Qs 10:3,55 / 20:6, maka yang berhak untuk menciptakan ajaran; syari’at, aturan, undang-undang dan hukum untuk dijadikan pedoman dalam manata dan mengatur seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi ini hanya-lah hak Alloh saja Qs 7:54 / 22:67 / 42:13 / 45:18 / 13:37,41 / 10:37 / 6:57 / 33:36. Jika ada manusia yang menciptakan ajaran; syari’at, aturan, undang-undang dan hukum, tanpa ada otoritas (kewenangan resmi) dari Alloh SWT, maka itulah orang yang divonis oleh Alloh SWT sebagai Thogut (pemberontak / perebut hak Alloh). Qs 4:60,76 / 6:112,123.
Ingatlah…!!! Menciptakan (segala sesuatu) dan memerintah hanyalah hak Alloh Qs 7:54.
  
Sedangkan orang yang diberi otoritas (kewenangan resmi) oleh Alloh SWT untuk menggulirkan ajaran; aturan dan hukum hasil ciptaan Alloh (Kitabulloh) di bumi ini hanya-lah para Rosul-Nya (Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW) Qs 7:158 / 21:105 / 42:13 / 9:33 / 48:28 / 61:9. Pangkat seorang Rosul saja tidak berhak untuk menciptakan ajaran; aturan dan hukum, ia hanya sebatas seorang mandataris Alloh SWT (pengemban amanat dari Alloh SWT). Setelah Rosululloh SAW wafat kemudian mandat (amanat) tersebut dilanjutkan oleh Ulil amri-Nya (kholifah / imam / pimpinan Dinul Islam berikutnya) seperti; Abu Bakar Sidiq r.a, Umar bin Khotob r.a, Utsman bin Affan r.a, Ali bin Abi Tholib r.a, dan seterusnya hingga sekarang ini Qs 3:144 / 4:59 / 24:55.  
Kesimpulan: Ciri-Ciri Orang Yang Ma’rifat kepada Rububiyah adalah ia menyakini bahwa hanya Alloh saja satu-satunya Dzat yang berhak menduduki jabatan sebagai Robb (Pengatur; Pencipta aturan dan hukum) baik di langit maupun di planet bumi ini, di luar Alloh status jabatannya bukan sebagai Robb tapi sebagai makhluk yang harus tunduk, patuh dan taat secara totalitas terhadap aturan dan hukum yang telah di sediakan oleh tuhannnya.  
Orang yang meyakini bahwa di luar ada sesuatu yang memiliki fungsi; kedudukan / jabatan sebagai Robb, maka berarti ia sedang dalam keadaan MUSYRIK RUBUBIYAH.  
Sedangkan jika ada orang yang tidak mengakui eksistensi fungsi; kedudukan/jabatan Alloh sebagai Robb, maka ia sedang dalam keadaan KAFIR RUBUBIYAH.  
6.        Makrifat Kepada Eksistensi Mulkiyah Alloh Pengertian Mulkiyah. 
Kata Mulkiyah berasal dari kata Al-Malik, yang berarti; 
(a) Raja Qs 1:4 / 20:114 / 23:116 / 114:2.
Nama lain dari Raja adalah;
  
 Penguasa, (Pemilik dan Pengendali Kekuasaan).
 Pemimpin, (Pucuk Pimpinan / Pimpinan Tertinggi).
 Pemerintah, (Tukang Nitah / Tukang Nyuruh; Kepala Pemerintahan).
  
(b) Lembaga Kerajaan Qs 2:251 / 5:120 / 6:73 / 22:56 / 25:2 / 57:5 / 67:1.
Nama lain dari Lembaga Kerajaan (Mulkiyah) adalah;
 Lembaga Daulah (Lembaga Kekuasaan / Lembaga Kedaulatan) Qs 6:73 / 22:56 / 23:88 / 25:2-3.
 Lembaga Kepemimpinan (Lembaga Khilafah) Qs 38:26.
 Lembaga Pemerintahan (Lembaga Negara) Qs 2:247,251,258.

Ingatlah…!!! Menciptakan (segala sesuatu) dan memerintah hanyalah hak Alloh Qs 7:54.  

Jadi yang dimaksud dengan orang Ma’rifat Kepada Mulkiyah adalah ia meyakini, mengakui dan menetapkan dalam hati bahwa langit dan bumi beserta seluruh isinya adalah merupakan hasil ciptaan dan milik Alloh SWT Qs 10:3,55 / 20:6, maka yang berhak untuk mendirikan Lembaga Kerajaan / Lembaga Pemerintahan di Jagat Raya ini dan yang berhak untuk memimpin dan memerintah seluruh makhluk yang ada di dalamnya ialah hanya-lah hak Alloh saja Qs 7:54 / 67:1 / 25:2 / 5:120 / 20:114 / 23:116 / 6:18,61,73 / 10:65.  
Sedangkan orang yang diberi legalitas (izin resmi) oleh Alloh SWT untuk mendirikan Lembaga Kerajaan / Lembaga Pemerintahan dan yang diberi legalitas untuk memimpin dan memerintah di planet bumi ini hanya-lah para Rosul-Nya (Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW) Qs 7:158 / 21:105 / 42:13 / 9:33 / 48:28 / 61:9. Yang kemudian dilanjutkan oleh Ulil amri-Nya (kholifah / imam / pimpinan Dinul Islam berikutnya) seperti; Abu Bakar Sidiq r.a, Umar bin Khotob r.a, Utsman bin Affan r.a, Ali bin Abi Tholib r.a, dan seterusnya hingga sekarang ini Qs 3:144 / 4:59 / 24:55.  
Jika ada manusia yang mendirikan Lembaga Kerajaan / Lembaga Pemerintahan kemudian ia memimpin dan memerintah di muka bumi ini tanpa ada legalitas (izin resmi) dari Alloh SWT, maka itulah orang yang divonis sebagai Thogut (pemberontak / perebut hak Alloh). Qs 4:60,76. Mereka inilah yang dimaksud oleh Alloh SWT sebagai pembuat makar (pembuat kejahatan / pemberontak) yang sebenarnya terhadap hak dan kedaulatan Alloh SWT Qs 6:112,123 / 6:61 / 10:65.  
Ciri-Ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Mulkiyah Alloh adalah adalah ia menyakini bahwa hanya Alloh saja satu-satunya Dzat yang berhak menduduki jabatan sebagai Al-Malik (Raja, Penguasa, Pemimpin dan Pemerintah) baik di langit maupun di planet bumi ini, artinya;  
(a)   Meyakini bahwa hanya Alloh sajalah satu-satunya Dzat yang berhak menduduki jabatan sebagai Raja, di luar Alloh status kedudukannya bukan sebagai Raja tapi yang di rajai oleh Alloh.
(b) Meyakini bahwa hanya Alloh sajalah satu-satunya Dzat yang berhak menduduki jabatan sebagai Penguasa, di luar Alloh status kedudukannya bukan sebagai Penguasa tapi yang di kuasai oleh Alloh.
(c) Meyakini bahwa hanya Alloh sajalah satu-satunya Dzat yang berhak menduduki jabatan sebagai Pemimpin, di luar Alloh status kedudukannya bukan sebagai Pemimpin tapi yang di pimpin oleh Alloh
  
(d) Meyakini bahwa hanya Alloh sajalah satu-satunya Dzat yang berhak menduduki jabatan sebagai Pemerintah atas sesuatu, di luar Alloh status kedudukannya bukan sebagai Pemerintah tapi yang di perintah oleh Alloh.  
Kesimpulan:
Tidak ada Al-Malik (Raja/Pengusa/Pimpinan/Pemerintah) yang berhak untuk eksis baikdilangit maupun di muka bumi ini kecuali Alloh saja.
  
Jika ada orang yang meyakini bahwa di luar Dzat Alloh ada manusia atau ada sesuatu yang memiliki fungsi; kedudukan/jabatan sebagai AL-MALIK, Maka berarti ia dalam keadaan MUSYRIK MULKIYAH.  
Sedangkan jika ada orang yang menolak eksistensi Mulkiyah Alloh (Kerajaan Islam/ Pemerintahan Islam), maka ia sedang alam Kafir terhadap Mulkiyah Alloh, seperti halnya Abu jahal Cs  
7.         Makrifat Kepada Uluhiyah Alloh Pengertian Uluhiyah. 
Kata Uluhiyah berasal dari kata; Aliha – Ya’lahu – Ilaahan, yang berarti; yang dicintai, yang ditaati, yang dijadikan tempat pengabdian (tempat ibadah) dan yang dijadikan tujuan hidup. 
Jagi yang dimaksud dengan Ma’rifat Kepada Uluhiyah Alloh adalah ia meyakini, mengakui dan menetapkan dalam hati bahwa langit dan bumi beserta seluruh isinya adalah merupakan hasil ciptaan dan milik Alloh SWT Qs 10:3,55 / 20:6, maka yang berhak untuk ditaati aturan dan kebijakan hukum-hukumnya oleh seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi ini adalah hanyalah hak Alloh saja Qs 16:52 / 39:11 / 40:14,65 / 3:18 / 6:3 / 17:44 / 22:18 / 24:41 / 7:59,206 / 16:2,49 / 40:62-66 / 18:110 / 20:14 / 21:25 / 98:5.  
Jika ada makhluk atau manusia atau siapa saja yang meminta dirinya supaya ditaati setiap aturan dan kebijakan hukum-hukumnya, maka itulah yang dimaksud dengan Thogut (pemberontak / perebut hak Alloh). Sedangkan orang yang diberi legalitas (izin resmi) oleh Alloh SWT untuk supaya ditaati setiap aturan dan kebijakan hukum-hukumnya hanya-lah Rosululloh SAW dan Ulil amri-Nya (kholifah / imam / pimpinan Dinul Islam berikutnya) seperti; Abu Bakar Sidiq r.a, Umar bin Khotob r.a, Utsman bin Affan r.a, Ali bin Abi Tholib r.a, dan seterusnya hingga sekarang ini, selain itu tidak ada lagi yang diberi legalitas (Izin resmi) oleh Alloh SWT…..!!! Qs 3:32,132 / 4:59,69,80 / 8:20,24,46 / 6:36.  
Ciri-Ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Uluhiyah Alloh adalah ia menyakini bahwa hanya Alloh saja satu-satunya Dzat yang berhak menduduki jabatan sebagai Al-ILAH (Yang Ditaati / Yang Dijadikan Tempat Pengabdian) oleh seluruh makhluk baik yang ada di langit maupun di planet bumi ini.  
TAMAT